MAKALAH
KEBUDAYAAN ACEH
Nama : Rama Aditama
NPM : 15315617
Kelas : 1TA04
FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
Jurusan Teknik Sipil
Ilmu Sosial Dasar
Dosen : Ibu Helnawaty
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul
"KEBUDAYAAN ACEH ". Atas dukungan moral dan materil yang diberikan
dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Kedua Orang tua saya yang telah memberikan dukungan moral dan materil sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
1. Kedua Orang tua saya yang telah memberikan dukungan moral dan materil sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Ibu Helnawaty selaku
dosen dari mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang telah membimbing saya dalam
pembuatan makalah ini
3. Dan orang-orang
disekitar saya yang telah memberikan saran & kritik untuk makalah ini
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca khususnya dalam pengetahuan “Kebudayaan Aceh”,
Untuk ke depannya saya dan para pembaca dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Jakarta, 7 Oktober 2015
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Jakarta, 7 Oktober 2015
RAMA ADITAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Siapa yang tak kenal dengan Provinsi satu ini ya Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam atau yang kita kenal dengan sebutan Aceh,provinsi yang
terkenal dengan hukum Islam wanita cantiknya itu tapi untuk kali ini saya tidak
akan membahas terlalu mendetail tentang masalah tersebut tapi lebih tentang “
Kebudayaan Aceh”. Berbicara tentang Budaya Aceh memang
tak habis-habisnya dan tak akan pernah selesai sampai kapanpun. Topik yang satu
ini memang menarik untuk dibicarakan terutama karena budaya itu sendiri
sesungguhnya merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan
manusia.Jadi,selama manusia itu ada selama itu pula persoalan budaya akan terus
dibicarakan.
Demikian pula halnya budaya Aceh,dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh
memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak
dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena
merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil
dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku bangsa yang mendiami
Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini
menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada
di lain wilayah dan disinilah mengapa wanita Aceh
terkenal memiliki wajah yang cantik seperti orang Timur Tengah. Suku Aceh
merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh
yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan
kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu
Aceh mendapat julukan “Serambi Mekah” dan terkenal akan Hukum Islamnya.Dari
struktur masyarakat Aceh dikenal gampong,mukim,nanggroe dan sebagainya. Tetapi
pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai
simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai.Pergeseran nilai
kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan faktor lainnya seperti
globalisasi.
1.2 Tujuan
a)
Untuk melengkapi tugas
mata kuliah softskill 1 Ilmu Sosial Dasar
b)
Ingin lebih memperdalam
dan mengetahui kebudayaan Indonesia khusunya kebudayan Aceh
1.3 Pokok Permasalahan
1.
Sejarah Aceh
2.
Adat & Istiadat
Kebudayaan Aceh
3.
Kesenian &
Persenjataan Aceh
4.
Dampak Globalisasi pada
kebudayaan Aceh
5.
Bergesernya budaya Aceh
pasca Tsunami 2004
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Aceh
Aceh merupakan
salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik
khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Di Provinsi Aceh
terdapat empat suku utama yaitu: Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas dan Tamiang
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat istiadat. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias. Aceh sangat lama terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat istiadat. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias. Aceh sangat lama terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.
2.2 Adat & Istiadat Kebudayaan Aceh
Aceh
sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau
wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini
terdapat beberapa subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu,
Singkil, dan Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap etnis mempunyai adat
istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku
di indonesia. Diantaranya adalah:
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu
yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan
dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat
dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan
jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi
masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga
hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin
laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah
tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca
pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat,
pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara
peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh
kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi
oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai
saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya
kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang
diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap
sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum
menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan
sempurna.
Setelah selesai acara
nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah
terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan
untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot
linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan
sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan
ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi
peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan
dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga
kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga
pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga
pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi
selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga
memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya
didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara
bergantian.
Apabila acara peusunteng
sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya.
Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa
pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro
harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila
seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh
(Turun Tanah)
Upacara turun tanah
(peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam
jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang
sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada
upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan
budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu
turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang
pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi
tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi
dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu
tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi
itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang
batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas
tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa
pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi Makan dan
Minum
Makanan pokok masyarakat
Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan
minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada
lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik
dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat
berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai
kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie
Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada
pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh
sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut,
ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman
sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.
2.3 Kesenian & Persenjataan Aceh
MUSIK
Alat musik tradisional merupakan sejumlah alat yang digunakan untuk
mengiringi suatu kegiatan adat di suatu wilayah tertentu. Alat musik
tradisional Aceh berarti alat musik yang digunakan untuk acara-cara tertentu
dalam tradisi masyarakat Aceh. Alat musik ini kemudian menjadi sebuah identitas
dan kebanggaan ureueng Aceh.
Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya:
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Gendang (Geundrang)Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
Canang
Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya “Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi” dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”. Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo). Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri. Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis. Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.
RapaiRapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Adapun alat musik tradisional Aceh tersebut di antaranya:
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
Gendang (Geundrang)Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya. Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
Canang
Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya “Canang Trieng”, di Gayo disebut “Teganing”, di Tamiang disebut “Kecapi” dan di Alas disebut dengan “Kecapi Olah”. Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo). Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri. Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis. Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.
RapaiRapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah
Tari-Tarian
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan
ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara
tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari,
musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas,
pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan
secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.
Tari-tarian yang ada antara lain Seudati,
Saman,
Rampak,
Rapai,
dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini
paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman
Kepercayaan
individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat
hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah,
yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi
tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang
utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang,
sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke
lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau
menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa
disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi
bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan
bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah.
Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun
pedang). Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas
lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rencong memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong
dapat bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat
berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus seperti
pedang. Rencong dimasukkan ke dalam sarung belati yang terbuat dari kayu,
gading, tanduk, atau terkadang logam perak atau emas. Dalam pembawaan, rencong
diselipkan di antara sabuk di depan perut pemakai.
Rencong memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya
terbuat dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat
suci dari Alquran agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya biasanya
terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan kuningan atau
besi putih sebagai belatinya. Seperti kepercayaan keris dalam masyarakat Jawa,
masyarakat tradisional Aceh menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata
rencong. Rencong masih digunakan dan dipakai sebagai atribut busana dalam
upacara tradisional Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong
mewakili simbol dari basmalah dari kepercayaan agama Islam. Rencong begitu
populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan
"Tanah Rencong".
2.4 Dampak Globalisasi pada kebudayaan Aceh
Kebudayaan
Aceh dari zaman dahulu sangat erat kaitannya dengan adat dan kebudayaan Islam.
Seperti kita ketahui pada zaman kerajaan Aceh dulu dimana terdapat banyak
upacara-upacara agama di kerajaan, seperti:
a. Perayaan hari raya puasa; Pemerian arak-arakan raja dari istana sampai dari istana sampai masjid Bait ur-Rahman. Pedang raja diarak di hadapan sultan, begitu pula pingan sirih (puan) dan kantong sirih. Setelah bersembahyang di belakang tirai (kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, sultan pulang naik gajah upacara
b. Adat majelis hadirat Syah Alam berangkat sembahyang hari raya haji ke masjid Bait ur-Rahman; arak-arakan sultan pergi ke mesjid untuk bersembahyang pada hari ke-10 bulan Zulhijjah.
c. Majelis Syah Alam berangkat sembahyang ke masjid jum’at, iring-iringan pada saat sultan pergi ke masjid setiap hari jum’at.
Dari contoh-contoh diatas dapat kita ketahui bahwa sejak zaman dahulu kebudayaan Aceh sudah sangat lekat dengan Islam. Namun, semenjak Aceh dimasuki globalisasi banyak perubahan yang terjadi didalam masyarakat Aceh, terutama pada remaja-remaja Aceh.
Para remaja di Aceh, terutama di Banda Aceh pada saat ini banyak membentuk komunitas-komunitas yang kebarat-baratan, seperti Geng emo, Geng Motor, dan Anak Punk. Mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal tidak berguna, seperti tauran antar geng. Mereka mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Dampak negative dari globalisasi ini juga dapat kita lihat dari moral masyarakat Aceh yang semakin merosot akibat pengaruh budaya luar. Remaja-remaja Aceh pada saat ini suka menggunakan pakaian-pakaian ketat dan terbuka tanpa merasa malu, bahkan mereka bangga mengenakan pakaian seperti itu. Banyak remaja yang tidak lagi hormat kepada orang tua. Para remaja Aceh banyak yang berpelukan dijalanan dengan pasangan mereka tanpa adanya rasa malu. Ini semua terjadi akibat apa yang selama ini mereka lihat di televisi. Bahkan beberapa orang tua bangga apabila anak gadis mereka sering berpergian bersama lelaki. Hal-hal yang seperti ini dianggap tabu sebelumnya. Namun, karena mereka sering melihat hal-hal seperti ini di media elektronik, lama-kelamaan mereka mengganggap hal seperti ini biasa saja.
Globalisasi telah menjadi virus bagi budaya dan moral bangsa Aceh yang sebelumnya sangat baik. Namun, dampak-dampak negative dari globalisasi ini sebenarnya dapat kita tanggulangi apabila pemerintah dan masyarakat mau saling bahu-membahu dalam perbaikan moral bangsa. Seperti:
• Orang tua seharusnya mengerti internet agar dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh putra-putri mereka di dunia maya.
• Orang tua lebih mengontrol anak-anak mereka dalam pergaulan.
• Sekolah-sekolah menanamkan nilai-nlai islam yang lebih dalam, sehingga para remaja dapat membedakan dan memilih yang mana baik untuk mereka dan mana yang buruk bagi mereka.
• Wilayatul Hisbah (WH) dapat lebih mengontrol masyarakat Aceh, tidak hanya mengontrol orang-orang dari kalangan bawah, tetapi mengontrol semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.
Namun, tidak semua hal dari globalisasi ini berdampak negative terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Media elekronik dan media cetak juga mempunyai banyak efek positif, sebagai contoh internet mempunyai informasi yang sangat luas, yang dapat memperluas dan membuka pikiran kita.
a. Perayaan hari raya puasa; Pemerian arak-arakan raja dari istana sampai dari istana sampai masjid Bait ur-Rahman. Pedang raja diarak di hadapan sultan, begitu pula pingan sirih (puan) dan kantong sirih. Setelah bersembahyang di belakang tirai (kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, sultan pulang naik gajah upacara
b. Adat majelis hadirat Syah Alam berangkat sembahyang hari raya haji ke masjid Bait ur-Rahman; arak-arakan sultan pergi ke mesjid untuk bersembahyang pada hari ke-10 bulan Zulhijjah.
c. Majelis Syah Alam berangkat sembahyang ke masjid jum’at, iring-iringan pada saat sultan pergi ke masjid setiap hari jum’at.
Dari contoh-contoh diatas dapat kita ketahui bahwa sejak zaman dahulu kebudayaan Aceh sudah sangat lekat dengan Islam. Namun, semenjak Aceh dimasuki globalisasi banyak perubahan yang terjadi didalam masyarakat Aceh, terutama pada remaja-remaja Aceh.
Para remaja di Aceh, terutama di Banda Aceh pada saat ini banyak membentuk komunitas-komunitas yang kebarat-baratan, seperti Geng emo, Geng Motor, dan Anak Punk. Mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal tidak berguna, seperti tauran antar geng. Mereka mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Dampak negative dari globalisasi ini juga dapat kita lihat dari moral masyarakat Aceh yang semakin merosot akibat pengaruh budaya luar. Remaja-remaja Aceh pada saat ini suka menggunakan pakaian-pakaian ketat dan terbuka tanpa merasa malu, bahkan mereka bangga mengenakan pakaian seperti itu. Banyak remaja yang tidak lagi hormat kepada orang tua. Para remaja Aceh banyak yang berpelukan dijalanan dengan pasangan mereka tanpa adanya rasa malu. Ini semua terjadi akibat apa yang selama ini mereka lihat di televisi. Bahkan beberapa orang tua bangga apabila anak gadis mereka sering berpergian bersama lelaki. Hal-hal yang seperti ini dianggap tabu sebelumnya. Namun, karena mereka sering melihat hal-hal seperti ini di media elektronik, lama-kelamaan mereka mengganggap hal seperti ini biasa saja.
Globalisasi telah menjadi virus bagi budaya dan moral bangsa Aceh yang sebelumnya sangat baik. Namun, dampak-dampak negative dari globalisasi ini sebenarnya dapat kita tanggulangi apabila pemerintah dan masyarakat mau saling bahu-membahu dalam perbaikan moral bangsa. Seperti:
• Orang tua seharusnya mengerti internet agar dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh putra-putri mereka di dunia maya.
• Orang tua lebih mengontrol anak-anak mereka dalam pergaulan.
• Sekolah-sekolah menanamkan nilai-nlai islam yang lebih dalam, sehingga para remaja dapat membedakan dan memilih yang mana baik untuk mereka dan mana yang buruk bagi mereka.
• Wilayatul Hisbah (WH) dapat lebih mengontrol masyarakat Aceh, tidak hanya mengontrol orang-orang dari kalangan bawah, tetapi mengontrol semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.
Namun, tidak semua hal dari globalisasi ini berdampak negative terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Media elekronik dan media cetak juga mempunyai banyak efek positif, sebagai contoh internet mempunyai informasi yang sangat luas, yang dapat memperluas dan membuka pikiran kita.
2.5 Bergesernya
budaya Aceh Pasca Tsunami 2004
Budaya Aceh yang tidak terlepas dari budaya Islam Aceh sejak Kerajaan
Samudera Pasai, yang sempat menjadi pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara,
kini sedikit demi sedikit mulai bergeser pasca-gempa bumi diikuti tsunami yang
meluluh lantakkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan menewaskan lebih 200.000
jiwa manusia pada 26 Desember 2004. Pergeseran budaya itu, antara lain terlihat
di bidang akhlak berpakaian bagi muslimat. Wanita Islam wajib memakai busana
yang menutup aurat lengkap dengan jilbab yang menutup kepala hingga di bawah
bahunya.
Kalau sebelum bencana itu, masyarakat Aceh tabu melihat wanita berjalan tanpa jilbab yang menutupi kepala hingga ke bahunya, maka pasca-tsunami tampak sudah tidak menjadi tabu lagi. Tak ada orang yang menegur, tak ada orang lagi yang peduli.
Muslimat banyak terlihat santai berjalan menelusuri jalan-jalan tanpa memakai jilbab, padahal sebelumnya mereka tampak selalu memakai jilbab di propinsi yang berhukum Syariat Islam sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Wanita muslimat pasca-musibah alam itu sudah berani duduk berboncengan di atas sepeda motor yang dikenderai seorang pria yang bukan muhrim tanpa memakai jilbab, seperti yang setiap hari kini tampak di jalan-jalan di ibukota Banda Aceh.
Terlihat sepeda motor dinaiki tiga orang, seorang pria yang mengenderainya dengan dua wanita duduk di belakang. Para wanita itu tidak berjilbab, bahkan kulit punggung dan celana dalamnya terlihat, seperti busana yang kini banyak dipakai kaum perempuan muda Indonesia masa kini. Padahal, hal itu dulu tidak pernah dijumpai di negeri yang menjalankan Syariat Islam itu.
Sewaktu Syariat Islam dicanangkan untuk diterapkan di negeri yang terkenal dengan sebutan Serambi Makkah itu, wanita-wanita muslimat serentak menyambut dengan memakai busana muslimat dengan jilbabnya. Nanggroe (negeri) Aceh Darussalam (wilayah keselamatan) merupakan satu-satunya daerah yang istimewa, karena pemerintah mengesahkan daerah itu sebagai daerah yang dapat menjalankan Syariat Islam, dan masyarakat Aceh yang merindukan syariat tersebut menyambut pelaksanaannya.
Tetapi, budaya memakai jilbab itu mulai meluntur, terutama pasca-tsunami yang menghancurkan 15 dari 21 kota di Aceh dan memusnahkan hampir semua rumah penduduknya. Banyak anak menjadi yatim piatu, tak memiliki ayah dan ibu, atau memiliki ayah tak memiliki ibu dan sebaliknya, sanak keluarganya pun mati atau hilang ditelan tsunami.
"Kalau non-muslim dapat dimengerti, tetapi justru banyak wanita muslimat mulai menanggalkan jilbab, tidak seperti dulu sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami dahsyat yang telah menewaskan dan menghilangkan lebih 200 ribu jiwa manusia di Aceh," kata H. Abdullah, salah seorang tokoh di Aceh. Rupanya bencana alam yang paling dahsyat terjadi di Indonesia itu tidak membuat orang menjadi takut dan jera, malah kaum wanita kini makin nekat, katanya.
Di restoran-restoran dan toko-toko di Banda Aceh, banyak wanita-wanita muslimat tidak memakai jilbab. Mereka duduk bercengkrama, bersendagurau seolah-oleh tak pernah terjadi bencana alam dahsyat di daerahnya.
Imam Masjid Babussalam di Lampaseh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Basri, menyatakan pula keprihatinannya, karena tidak bisa lagi menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, kawasan yang sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terkenal kuat memegang prinsip-prinsip Syariat Islam. "Kita ingin melaksanakan Syariat Islam, tetapi di pihak lain keadaan tak mendukung pelaksanaan syariat itu," keluh teuku itu.
Ia mengakui banyak kemaksiatan terjadi di Aceh dan bencana alam itu merupakan suatu peringatan bagi masyarakat Aceh khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya dan ini hendaknya menjadi cambuk bagi manusia, agar menjalankan Syariat Islam dengan sungguh-sungguh. "Ini adalah murka Allah, karena banyak kemaksiatan yang terjadi di bumi Aceh. Mereka tidak cinta kepada masjid, yang menjadi pusat ibadah bagi umat Islam," katanya.
Sebagian besar wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, hancur, tetapi masjid tetap berdiri tegak, tidak terkena dari amukan dan terkaman tsunami. Hendaknya manusia itu mau tobat kepada Allah sebelum peristiwa yang sama berulang kembali. Kasih tak tampak Selain lunturnya budaya memakai jilbab bagi muslimat itu, Aceh juga dicederai dengan mulai tak tampaknya kasih sayang di kalangan masyarakat Islam di negeri itu.
Dr. H. Bukhari Daud, MEd, tokoh pendidikan di daerah tersebut, mengatakan, kini mulai tak tampak lagi ada kasih sayang di kalangan masyarakat Aceh yang muslim padahal ajaran Islam itu mengajarkan agar orang-orang Islam itu berkasih sayang. "Tak ada lagi kasih sayang di antara masyarakat. Bahkan, ada yang sampai hati dan tega memotong jari tangan dan lengan mayat wanita untuk mengambil emas di jari tangan manisnya dan tangannya," katanya.
Ada juga orang mengambil pagar-pagar rumah yang masih bagus, lalu dirusak dan diangkut dengan mobil untuk dijual, padahal itu hak orang lain, tambahnya. Ia menyatakan, prihatin atas perbuatan-perbuatan yang buruk itu, dan meminta agar para pelakunya sadar, tidak melakukan perbuatan dosa itu.
Ia meminta, agar seluruh anak negeri (Aceh) menyadari dan mengakaui kekeliruan selama ini. "Sesalilah segala kesalahan kita sedalam-dalamnya, kemudian bertaubatlah kepada Allah dengan segala ketulusan hati." Dia berharapkan pula, masyarakat hijrah dari kebiasaan buruk kepada yang baik.
Kalau sebelum bencana itu, masyarakat Aceh tabu melihat wanita berjalan tanpa jilbab yang menutupi kepala hingga ke bahunya, maka pasca-tsunami tampak sudah tidak menjadi tabu lagi. Tak ada orang yang menegur, tak ada orang lagi yang peduli.
Muslimat banyak terlihat santai berjalan menelusuri jalan-jalan tanpa memakai jilbab, padahal sebelumnya mereka tampak selalu memakai jilbab di propinsi yang berhukum Syariat Islam sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Wanita muslimat pasca-musibah alam itu sudah berani duduk berboncengan di atas sepeda motor yang dikenderai seorang pria yang bukan muhrim tanpa memakai jilbab, seperti yang setiap hari kini tampak di jalan-jalan di ibukota Banda Aceh.
Terlihat sepeda motor dinaiki tiga orang, seorang pria yang mengenderainya dengan dua wanita duduk di belakang. Para wanita itu tidak berjilbab, bahkan kulit punggung dan celana dalamnya terlihat, seperti busana yang kini banyak dipakai kaum perempuan muda Indonesia masa kini. Padahal, hal itu dulu tidak pernah dijumpai di negeri yang menjalankan Syariat Islam itu.
Sewaktu Syariat Islam dicanangkan untuk diterapkan di negeri yang terkenal dengan sebutan Serambi Makkah itu, wanita-wanita muslimat serentak menyambut dengan memakai busana muslimat dengan jilbabnya. Nanggroe (negeri) Aceh Darussalam (wilayah keselamatan) merupakan satu-satunya daerah yang istimewa, karena pemerintah mengesahkan daerah itu sebagai daerah yang dapat menjalankan Syariat Islam, dan masyarakat Aceh yang merindukan syariat tersebut menyambut pelaksanaannya.
Tetapi, budaya memakai jilbab itu mulai meluntur, terutama pasca-tsunami yang menghancurkan 15 dari 21 kota di Aceh dan memusnahkan hampir semua rumah penduduknya. Banyak anak menjadi yatim piatu, tak memiliki ayah dan ibu, atau memiliki ayah tak memiliki ibu dan sebaliknya, sanak keluarganya pun mati atau hilang ditelan tsunami.
"Kalau non-muslim dapat dimengerti, tetapi justru banyak wanita muslimat mulai menanggalkan jilbab, tidak seperti dulu sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami dahsyat yang telah menewaskan dan menghilangkan lebih 200 ribu jiwa manusia di Aceh," kata H. Abdullah, salah seorang tokoh di Aceh. Rupanya bencana alam yang paling dahsyat terjadi di Indonesia itu tidak membuat orang menjadi takut dan jera, malah kaum wanita kini makin nekat, katanya.
Di restoran-restoran dan toko-toko di Banda Aceh, banyak wanita-wanita muslimat tidak memakai jilbab. Mereka duduk bercengkrama, bersendagurau seolah-oleh tak pernah terjadi bencana alam dahsyat di daerahnya.
Imam Masjid Babussalam di Lampaseh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Basri, menyatakan pula keprihatinannya, karena tidak bisa lagi menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, kawasan yang sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terkenal kuat memegang prinsip-prinsip Syariat Islam. "Kita ingin melaksanakan Syariat Islam, tetapi di pihak lain keadaan tak mendukung pelaksanaan syariat itu," keluh teuku itu.
Ia mengakui banyak kemaksiatan terjadi di Aceh dan bencana alam itu merupakan suatu peringatan bagi masyarakat Aceh khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya dan ini hendaknya menjadi cambuk bagi manusia, agar menjalankan Syariat Islam dengan sungguh-sungguh. "Ini adalah murka Allah, karena banyak kemaksiatan yang terjadi di bumi Aceh. Mereka tidak cinta kepada masjid, yang menjadi pusat ibadah bagi umat Islam," katanya.
Sebagian besar wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, hancur, tetapi masjid tetap berdiri tegak, tidak terkena dari amukan dan terkaman tsunami. Hendaknya manusia itu mau tobat kepada Allah sebelum peristiwa yang sama berulang kembali. Kasih tak tampak Selain lunturnya budaya memakai jilbab bagi muslimat itu, Aceh juga dicederai dengan mulai tak tampaknya kasih sayang di kalangan masyarakat Islam di negeri itu.
Dr. H. Bukhari Daud, MEd, tokoh pendidikan di daerah tersebut, mengatakan, kini mulai tak tampak lagi ada kasih sayang di kalangan masyarakat Aceh yang muslim padahal ajaran Islam itu mengajarkan agar orang-orang Islam itu berkasih sayang. "Tak ada lagi kasih sayang di antara masyarakat. Bahkan, ada yang sampai hati dan tega memotong jari tangan dan lengan mayat wanita untuk mengambil emas di jari tangan manisnya dan tangannya," katanya.
Ada juga orang mengambil pagar-pagar rumah yang masih bagus, lalu dirusak dan diangkut dengan mobil untuk dijual, padahal itu hak orang lain, tambahnya. Ia menyatakan, prihatin atas perbuatan-perbuatan yang buruk itu, dan meminta agar para pelakunya sadar, tidak melakukan perbuatan dosa itu.
Ia meminta, agar seluruh anak negeri (Aceh) menyadari dan mengakaui kekeliruan selama ini. "Sesalilah segala kesalahan kita sedalam-dalamnya, kemudian bertaubatlah kepada Allah dengan segala ketulusan hati." Dia berharapkan pula, masyarakat hijrah dari kebiasaan buruk kepada yang baik.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aceh merupakan salah satu wilayah di
Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk
tarian, kerajinan dan perayaan. Budaya yang beragam tersebut berasal dari nenek
moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang diadaptasi dari sejarah
terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri. Kebudayaan Aceh sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat
istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh
ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun,
dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain
sebagainya. Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember
2004. Kebudayaan Aceh pun mulai berubah pasca tsnunami 2004 &
tergerusnya arus globalisasi. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah, karena
selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun cukup
ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun, berkembangnya
budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum
wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan
tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab
terlihat aneh di Aceh dan mulainya rasa tidak sayang sesama masyarakat Aceh
& menjadi masyarakat yang individualitis. Ditambah lagi adanya komunitas
punk di Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi.
Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat,
karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan
dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam
menjalani aktivitas sehari-hari.
3.2 Saran
Saran saya sebagai Mahasiswa dan Warga Negara Republik Indonesia kita harus bisa memahami & melestarikan adat dan budaya kita sendiri dan memahami seberapa penting adat budaya bagi kehidupan masyarakat khususnya kebudayaaan Aceh,jangan sampai suatu kelak nanti anak cucu kita tidak mengetahui budaya daerahnya sendiri karena mulai tergerusnya oleh arus globalisasi dan kebudayaan barat.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua, agar kita lebih memahami dan mengerti tentang kebudayaan Indonesia khususnya kebudayaan Aceh.
Saran saya sebagai Mahasiswa dan Warga Negara Republik Indonesia kita harus bisa memahami & melestarikan adat dan budaya kita sendiri dan memahami seberapa penting adat budaya bagi kehidupan masyarakat khususnya kebudayaaan Aceh,jangan sampai suatu kelak nanti anak cucu kita tidak mengetahui budaya daerahnya sendiri karena mulai tergerusnya oleh arus globalisasi dan kebudayaan barat.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua, agar kita lebih memahami dan mengerti tentang kebudayaan Indonesia khususnya kebudayaan Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature&id=10
http://hanimumankz.blogspot.co.id/2011/01/dampak-negatif-globalisasi-terhadap.html
http://mayaismaini.blogspot.co.id/2011/12/makalah-adat-dan-budaya-aceh.html
http://acehzom.blogspot.co.id/2012/06/jenis-adat-istiadat-kebudayaan-aceh.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Aceh
www.gunadarma.ac.id